Saturday, February 13, 2010

Iman kepada Allah

Iman kepada Allah merupakan rukun iman yang pertama. Rukun ini sangat penting kedudukannya dalam Islam. Sehingga wajib bagi kita untuk mengilmuinya dengan benar supaya membuahkan akidah yang benar pula tentang Allah Ta’ala. Dengan memohon pertolongan Allah kami mencoba mengulas permasalah pokok tentang rukun iman yang pertama ini. Semoga ulasan berikut dapat memperkokoh iman kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Makna Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah merupakan asas dan pokok dari keimanan, yakni keyakinan yang pasti bahwa Allah adalah Rabb dan pemilik segala sesuatu, Dialah satu-satunya pencipta, pengatur segala sesuatu, dan Dialah satu-satunya yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Semua sesembahan selain Dia adalah sesembahan yang batil, dan beribadah kepada selain-Nya adalah kebatilan. Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)

Dialah Allah yang disifati dengan sifat yang sempurna dan mulia, tersucikan dari segala kekurangan dan cacat. Ini merupakan perwujudan tauhid yang tiga, yatu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhdi asma’ wa shifat. Keimanan kepada Allah mengandung tiga macam tauhid ini, karena makna iman kepada Allah adalah keyakinan yang pasti tentang keesaan Allah Ta’ala dalam rububiyah, uluhiyah, dan seluruh nama dan sifat-Nya. (Al Irysaad ilaa shahiihil I’tiqaad, Syaikh Sholeh al Fauzan).

Cakupan Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah mencakup empat perkara :

1. Iman tentang keberadaan (wujud) Allah.
2. Iman tentang keesaan Allah dalam rubuiyah
3. Iman tentang keesaan Allah dalam uluhiyah
4. Iman terhadap asma’ (nama) dan sifat-Nya.

Keimanan yang benar harus mencakup empat hal di atas. Barangsiapa yang tidak beriman kepada salah satu saja maka dia bukan seorang mukmin. (Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)

Dalil Tentang Keberadaan Allah

Keberadaan Allah adalah sesuatu yang sudah sangat jelas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan dalil akal, hissi (inderawi), fitrah, dan dalil syariat.

Dalil akal menunjukkan adanya Allah, karena seluruh makhluk yang ada di alam ini, baik yang sudah ada maupun yang akan datang, sudah tentu ada penciptanya. Tidak mungkin makhluk itu mengadakan dirinya sendiri atau ada begitu saja dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan.

Adapun petunjuk fitrah juga menyatakan keberadaan Allah. Seluruh makhluk telah diciptakan untuk beriman kepada penciptanya tanpa harus diajari sebelumnya. Tidak ada makhluk yang berpaling dari fitrah ini kecuali hatinya termasuki oleh sesuatu yang dapat memalingkannya dari fitrah itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (Islam, ed), lalu orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi” (HR. Bukhari dan Muslim).

Indera yang kita miliki juga bisa menunjukkan tentang keberadaan Allah. Kita semua bisa menyaksikan dikabulkannya permohonan orang-orang yang berdoa dan ditolongnya orang-orang yang kesusahan. Ini menunjukkan secara qath’i (pasti) akan adanya Allah. Demikian pula ayat-ayat (tanda-tanda) para nabi yang dinamakan mukjizat yang disaksikan oleh manusia atau yang mereka dengar merupakan bukti yang nyata akan adanya Dzat yang mengutus mereka, yaitu Allah Ta’ala. Sebab, kemukjizatan-kemukjizatan itu di luar jangkauan manusia pada umumnya, yang memang sengaja diberlakukan oleh Allah Ta’ala untuk mengokohkan dan memenangkan para rasul-Nya.

Sedangkan dari segi syariat juga menyatakan keberadaan Allah. Sebab kitab-kitab samawi seluruhnya menyatakan demikian. Apa saja yang dibawa oleh kitab-kitab samawi, berupa hukum-hukum yang menjamin kemaslahatan makhluk merupakan bukti bahwa hal itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu akan kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita yang berkenaan dengan alam yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut merupakan bukti bahwa kitab-kitab itu berasal dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mencipta apa yang diberitakan itu. (Simak pembahasan lengkap masalah ini pada kitab Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah dan Kitab Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin).

Iman terhadap Rububiyah

Maksudnya adalah beriman bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb yang tidak mempunyai sekutu. Rabb adalah Dzat ayang berwenang mencipta, memiliki, dan memerintah. Tiada yang dapat mencipta selian Allah, tiada yang memiliki kecuali Allah, serta tiada yang berhak memerintahkan kecuali Allah. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy . Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al A’rof: 54).

Tidak ada satupun dari makhluk yang mengingkari rububiyah Allah Ta’ala kecuali karena sombong. Namun sebenarnya ia tidak meyakini apa yang diucapkannya. Sebagaimana terdapat pada diri Fir’aun yang mengatakan kepada kaumnya,

فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ اْلأَعْلَى

“(Seraya) berkata:”Akulah tuhanmu yang paling tinggi”.” (QS. An Nazi’at: 24)

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَآأَيُّهَا الْمَلأُ مَاعَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي يَاهَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَل لِّي صَرْحًا لَّعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لأَظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِينَ

“Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”.” (QS. Al Qashash: 38)

Namun sebenarnya yang dia katakan itu bukan berasal dari keyakinan. Allah Ta’ala berfirman,

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ

“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (QS. An Naml: 14).

Bahkan kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengakui rububiyah Allah, namun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az Zukhruf:87). (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)

Dengan demikian beriman dengan rubiyah saja tidak cukup. Buktinya kaum musyrikin tetap diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka mengakui tentang rububiyah Allah.

Iman Kepada Uluhiyah

Kita wajib beriman terhadap tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah karena penisbatannya kepada Allah dan disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk. Adapun yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah pengesaan Allah dalam ibadah karena hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ

” Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka seru selain Alloh, itulah yang batil” (QS. Luqman: 30).

Banyak manusia yang kufur dan ingkar dalam hal tauhid ini. Karena itulah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab kepada mereka, sebagaimana Allah jelaskan,

وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ

” Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku“.” (QS. Al Anbiya’: 25) (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh Muhammad bin Sholih al ’Utsaimin)

Antara Rububiyah dan Uluhiyah

Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan seseorang terhadap tauhid rububiyah mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang telah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakannya dan mengatur segala urusannya, maka ini mengharuskan baginya untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid rububiyah. Maksudnya, jika seseorang mengimani tauhid uluhiyah pasti ia mengimani tauhid rububiya. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Bya, pasti ia akan meyakini bahwa Allahlah Tuhannya dan penciptanya. Hal ini sebgaimana perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam,

قَالَ أَفَرَءَيْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُونَ {75} أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ {76} فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلاَّرَبَّ الْعَالَمِينَ {77} الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ {78} وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ {79} وَإِذَامَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ {80} وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ {81} وَالَّذِي أَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ {82}

“Ibrohim berkata : “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah(75), kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?(76), karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam(77), (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku(78), dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku(79), dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku(80), dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali)(81), dan Yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat(82).” (QS. Asy Syu’aroo’:75-82)

Tauhid rububyah dan uluhiyah terkadang disebutkan bersamaan, maka ketika itu maknanya berbeda. Karena pada asalnya ketika ada dua kalimat yang disebutkan secara bersamaan dengan kata sambung menunjukkan dua hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana firman Allah,

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ {1} مَلِكِ النَّاسِ {2} إِلَهِ النَّاسِ {3}

“Katakanlah ;” Aku berlindung kepada Robb (yang memlihara dan menguasai) manusia(1). Raja manusia(2). Sesembahan manusia(3).” (QS. An Naas :1-3). Makna Robb dalam ayat ini adalah Raja yang mengatur manusia. Sedangkan makna Ilaah adalah sesembahan satu-satunya yang berhak untuk disembah.

Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri tanpa bergandengan. Maka ketika disebutkan salah satunya, maka sudah mencakup makna yang lainnya. Hal ini sebagaimana ucapan malaikat maut kepada mayit di kubur, “Siapa Rabbmu?” Maka maknanya, “Siapakah penciptamu dan sesembahanmu?” Hal ini juga sebagaimanan firman Allah,

الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِم بِغَيْرِ حَقٍّ إِلآَّ أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ {40}

“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata :”Tuhan kami hanyalah Alloh” (QS. Al Hajj:40)

قُلْ أَغَيْرَ اللهِ أَبْغِي رَبًّا {164}

“Katakanlah:”Apakah aku akan mencari Tuhan selain Alloh” (QS. Al An’am :164)

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا {30}

“Sesungguhnya ornag-orang yang mengaatkan “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka” (QS. Fushshilat :30). Penyebutan rububiyah dalam ayat-ayat di atas mengandung makna uluhiyah. (Lihat Al irsyaad ilaa shohiihili i’tiqood, Syaikh Sholeh al Fauzan)

Iman kepada Asma’ (Nama) dan Sifat Allah

Termasuk pokok keimanan kepada Allah adalah iman terhadap tauhid asma’ wa shifat. Maksudnya adalah pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan asma’ dan shifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus menetapkan seluruh asma’ dan shifat bagi Allah sebagaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam asma’ dan shifat-Nya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ {11}

” Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS. Asy Syuuro: 11) . (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh Muhammad bin Sholih al ’Utsaimin).

Cabang Keimanan yang Tertinggi

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “ Iman terdiri dari 70-an atau 60-an cabang. Cabang yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha ilallah, sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah sebagian dari cabang keimanan.” (HR. Muslim). Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan, “Cabang keimanan yang paling tinggi dan merupakan pokok sekaligus asasnya adalah ucapan Laa ilaaha ilallah. Ucapan yang jujur dari hati disertai ilmu dan yakin bahwa tidak ada yang memiliki sifat uluhiyah kecuali Allah semata. Dialah Tuhan yang memelihara seluruh alam dengan keutamaan dan ihsan. Semua butuh kepada-Nya sedangkan ia tidak butuh siapapun, semuanya lemah sedangkan Dia Maha Perkasa. Ucapan ini harus dibarengi ubudiyah (peribadatan) dalam setiap keadaan dan mengikhlaskan agama kepada-Nya. Sesungguhnya seluruh cabang-cabang keimanan adalah cabang dan buah dari asas ini (yakni iman kepada uluhiyah Allah)” (Bahjatu Quluubil Abrar wa Qurrotu ‘Uyuunil Akhyaar, Syaikh Abdurrahman As Sa’di)

Faedah Iman yang Benar

Iman kepada Allah dengan benar akan menghasilkan buah yang agung bagi orang-orang yang beriman, di antaranya:

1. Terwujudnya ketauhidan kepada Allah Ta’ala, di mana tidak ada tempat bergantung selain Allah dalam rasa harap dan takut , serta tidak ada yang berhak disembah selain Allah.
2. Sempurnanya kecintaan kepada Allah Ta’ala dan pengagungan terhadap-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia.
3. 3. Terwujudnya peribadahan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)

Semoga Allah Ta’ala meneguhkan dan memperkokoh keimanan kita kepada Allah dan memberikan kita istiqomah di atas iman yang benar. Wa shalallahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallaam.

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki

Muroja’ah: M. A. Tuasikal

Sumber: www.muslim.or.id

Jual Beli

Definisi Jual Beli

Secara etimologi, al-bay’u البيع (jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu, dan merupakan derivat (turunan) dari الباع (depa) karena orang Arab terbiasa mengulurkan depa mereka ketika mengadakan akad jual beli untuk saling menepukkan tangan sebagai tanda bahwa akad telah terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang.

Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan. (Taudhihul Ahkam, 4/211).

Di dalam Fiqhus sunnah (3/46) disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.

Adapun hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan keinginan seseorang yang terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual beli dia mampu untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya, karena pada umumnya kebutuhan seseorang sangat terkait dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya (Subulus Salam, 4/47).

Dalil Disyari’atkannya Jual Beli

Dalil Al Qur’an

Allah ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al Baqarah: 275)

Al ‘Allamah As Sa’diy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat manfaat dan urgensi sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulkan berbagai kerugian. Berdasarkan hal ini, seluruh transaksi (jual beli) yang dilakukan manusia hukum asalnya adalah halal, kecuali terdapat dalil yang melarang transaksi tersebut. (Taisir Karimir Rahman 1/116).

Dalil Sunnah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, profesi apakah yang paling baik? Maka beliau menjawab, bahwa profesi terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa melanggar batasan-batasan syariat. (Hadits shahih dengan banyaknya riwayat, diriwayatkan Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10; dinukil dari Taudhihul Ahkam 4/218-219).

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim: 2970)

Dalil Ijma’

Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).

Dalil Qiyas

Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain baik, itu berupa barang atau uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi tercapainya suatu keinginan yang diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).

Syarat-syarat Sah Jual Beli

Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka meremehkan batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli yang terjadi di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur penipuan, keculasan dan kezaliman.

Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan label syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah transaksi ribawi.

Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para pedagang saat ini, mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian besar para pedagang dengan “ringan tangan” menipu para pembeli demi meraih keuntungan yang diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ التُّجَّارَ هُمْ الْفُجَّارُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ وَيَأْثَمُونَ

“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah; Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz Dzahabi, Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua”, lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dari Maktabah Asy Syamilah).

Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan .

Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

لَا يَبِعْ فِيْ سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ يَفْقَهُ، وَإِلِا أَكَلَ الرِّباَ

“Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih (paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang riba.”

Berikut beberapa syarat sah jual beli -yang kami rangkum dari kitab Taudhihul ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.

Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu:

* Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan. Allah ta’ala berfirman:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29)
* Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang), sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila atau orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92). Hal ini merupakan salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya melindungi hak milik manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan transaksi mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga dirinya rentan dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya. Wallahu a’lam.

Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:

* Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
* Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
* Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan.
* Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)

Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ

“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)

Terakhir, Jual Beli Bukanlah Riba

Sebagian orang beranggapan bahwa jual beli tidaklah berbeda dengan riba, anggapan mereka ini dilandasi kenyataan bahwa terkadang para pedagang mengambil keuntungan yang sangat besar dari pembeli. Atas dasar inilah mereka menyamakan antara jual beli dan riba?!. Alasan ini sangat keliru, Allah ta’ala telah menampik anggapan seperti ini. Allah ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275)

Tidak ada pembatasan keuntungan tertentu sehingga diharamkan untuk mengambil keuntungan yang lebih dari harga pasar, akan tetapi semua itu tergantung pada hukum permintaan dan penawaran, tanpa menghilangkan sikap santun dan toleran (disadur dari Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 87 dengan beberapa penyesuaian). Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui tatkala sahabatnya Urwah mengambil keuntungan dua kali lipat dari harga pasar tatkala diperintah untuk membeli seekor kambing buat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)

Namun, yang patut dicermati bahwa sikap yang lebih sesuai dengan petunjuk para ulama salaf dan ruh syariat adalah memberikan kemudahan, santun dan puas terhadap keuntungan yang sedikit sehingga hal ini akan membawa keberkahan dalam usaha. Ali radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Hai para pedagang, ambillah hak kalian, kalian akan selamat. Jangan kalian tolak kentungan yang sedikit, karena kalian bisa terhalangi mendapatkan keuntungan yang besar.”

Adapun seseorang yang merasa tertipu karena penjual mendapatkan keuntungan dengan menaikkan harga di luar batas kewajaran, maka syariat kita membolehkan pembeli untuk menuntut haknya dengan mengambil kembali uang yang telah dibayarkan dan mengembalikan barang tersebut kepada penjual, inilah yang dinamakan dengan khiyarul gabn bisa dilihat pada pembahasan berbagai jenis khiyar. Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.

Demikianlah beberapa penjelasan ringkas mengenai jual beli dan beberapa persyaratannya. Semoga bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin.

Washshalatu was salamu ‘alaa nabiyyinal mushthafa. Wal hamdu lillahi rabbil ‘alamin.

dikutip dari tulisan Muhammad Nur Ichwan Muslim artikel www.muslim.or.id dengan sedikit peringkasan

Tentang Kami

Blog ini berisi tentang berbagai macam kumpulan artikel tentang dinul islam dan artikel-artikel selainnya.